Selasa, 26 Juli 2011

KEMATIAN

Mengapa manusia takut mati? Mengapa saya takut mati?

Apa yang sebenarnya ditakuti dari kematian itu sendiri??

Berbagai jawaban yang keluar dari mulut
rekan-rekan yang saya tanyai. Seperti ”wah, aku kan belum nikah….”, ”aku
masih ada hutang nih….”, ”saya belum sempat berbakti sama orang tua….”,
”saya belum naik haji….”, dan masih banyak lagi. Yah, beragam jenis jawaban
tersebut juga mungkin dapat memberikan gambaran sebenarnya bahwa persepsi
setiap orang tentang kematian itu sendiri masih berbeda.

Tapi saya bisa menarik kesimpulan bahwa
orang-orang tersebut masih ”belum siap” untuk mati. Ya, saya pun berfikir
seperti demikian. Yang saya takuti bukan mati itu sendiri, melainkan nasib saya
setelah saya mati. Saya merasa ”belum siap” untuk mati karena masih banyak
kewajiban-kewajiban yang belum saya laksanakan (berbakti kepada orang tua, naik
haji, dll, dan tentu saja menikah (*_*!) ), masih banyak dosa-dosa yang belum
saya tebus, pokoknya saya masih merasa belum pantas untuk mengahadap dan memberikan
LPJ tentang semua perbuatan yang saya telah lakukan didunia kepada Sang
Pencipta Allah SWT. Padahal sebenarnya kita semua pasti sudah tahu bahwa tidak
ada kata ”belum siap” bagi malaikat maut untuk mencabut nyawa kita.


” Kepastian itu lebih dekat daripada
keragu-raguan ”.


Kesimpulan inilah yang saya dapatkan setelah
membaca buku Psikologi Kematian ini. Bahwa sebenarnya sesuatu yang pasti
terjadi itu lebih dekat dari pada sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan ”Mati”
adalah sebuah kepastian, sedangkan saya masih hidup di hari esok adalah masih
sebuah ketidak pastian. Jadi pada intinya adalah kematian itu adalah sangat
dekat dengan kita, dan kita tidak akan tahu kapan kita akan mati, bisa saja
tahun depan, bulan depan, minggu depan, besok, ataupun sekarang……..

Dengan memegang prinsip
seperti ini, maka kita akan dapat memiliki dorongan untuk terus berbuat baik,
untuk terus beribadah, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan dosa.

Kematian adalah
keniscayaan….tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Sedikit sekali yang
mau menerimanya. Al-Qur’an pun menggunakan kalimat serupa, ”Setiap sorang diantara mereka menginginkan
seandainya diberi umur seribu tahun…
” (QS. Al-Baqarah [2] : 96).


Ada segolongan orang yang
memandang kematian sebagai sebuah malapetaka yang merampas kenikmatan hidup
sehingga mereka memilih jalan hidup hedonistis sebelum kematian tiba. Mereka
memuja kenikmatan duniawi mumpung masih hidup.


Namun ada pula yang berpandangan sebaliknya.
Yakin bahwa hidup didunia hanya sesaat dan
kehidupan akhirat lebih mulia, lebih utama dan abadi, maka mereka memilih jalan
spiritual dan menjauhi tawaran kenikmatan duniawi, demi mengejat kenikmatan
yang lebih tinggi dan sejati dibalik kematian.

Ada lagi segolongan orang yang tidak mau berfikir soal
kematian karena diangga tidak begitu berguna. Dipikir atau tidak dipikir toh
akhirnya akan datang juga. Lupakan soal kematian, pikirkan dan kerjakan apa
yang ada didepan mata.

Mengapa kita tidak terbebaskan dari rasa takut?

Secara psikologis, jika
ditelusuri labih dalam lagi, sesungguhnya kita semua menolak kematian. Sakit
dan celaka adalah jembatan kearah kematian sehingga setiap orang selalu
dibayangi rasa takut terhadap semua situasi yang tidak nyaman. Rasa takut itu
berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu
kemudian menjalar kepada berbagai wilayah aktivitas manusia. Esensinya ialah
sikap penolakan akan kematian itu karena kematian selalu diidentikkan dengan
tragedi, sakit, ketidak berdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup.

Tetapi yang menarik, justru karena adanya kesadaran akan
mati ini banyak karya dan peradaban besar manusia tercipta. Banyak orang
berbuat baik, banyak orang menulis buku, banyak orang melakukan inovasi keilmuan,
semuanya didorong oleh keinginan agar dirinya abadi, untuk mengalahkan kematian
yang tak mungkin dikalahkan.

Ada lagi ajaran Rasulullah
yang sering kali kita pandang enteng, padahal pesannya sangat mendalam. Yaitu,
menghayati bahwa setiap mau tidur kita diajak memasuki alam kematian. Kita
berdoa : bismika allahumma ahya wa amut, Ya
Allah dengan asma-Mu aku menjalani hidup, dan dengan asma-Mu malam ini aku mau
mati. Dalam psikologi Al-Quran, tidur disebut mati karena sewaktu tidur kita
tidak berkuasalagi untuk mengendalikan tubuh ini. Seakan jasad dan ruh telah
berpisah untuk sementara.

Karena itu, begitu bangun
tidur, Rasulullah mengajarkan berdoa : alhamdulillah,
aladzi ahyana, ba’da ma amatana, wa ilaihinnusur.
Segala puji bagimu ya
Allah, yang telah menghidupkan kembali diriku setelah kematianku, dan hanya
kepada-Mu nantinya kami semua akan berpulang.

EVERY
DAY IS MY BIRTHDAY”

Ya, jika kita bisa secara intens
menghayati dan memberi makna, maka setiap hari adalah hari kelahiran dan juga
hari kematian, maka kita sepatutnya harus selalu bersyukur kepada Allah atas
berkah dan rahmat yang diberikan-Nya setiap hari.

Ada sebuah kisah tentang
seorang penghuni penjara yang sudah 20 tahun mendekam di rumah tahanan. Ketika
hari pembebasan tiba, bukannya kegembiraan yang muncul, tetapi malahkegamangan
menapakkan kaki kea lam bebas. Dia
merasa malu, takut, dan gamang membangun pergaulan baru dan mencari pekerjaan
baru. Akhirnya ia memilih bekerja sebagai tukang kebun di rumah tahanan
tersebut yang suasananya sudah menyatu dengan dirinya.

Apa yang terjadi pada
orang tersebut ?

Secara psikologis,
kemungkinan karena sudah lama terkurung, ia tidak lagi mampu menangkap peluang
untuk memasuki kehidupan baru. Takut untuk memasuki dunia yang lebih luas karena
sudah merasa nyaman, sekalipun terpenjara.

Istilah comfort zone (zona nyaman) populer
dikalangan sarjana psikologi. Istilah ini menunjuk pada keadaan, situasi, dan
wilayah yang dirasakan mendatangkan rasa nyaman, aman, dan tidak berbahaya
sehingga seseorang enggan keluar dari wilayah itu. Namun sesungguhnya
kenyamanan itu belum tentu sejati, sebab bisa saja menipu dan membatasi
terbukanya peluang untuk memperoleh kemajuan dan kebahagiaan yang lebih tinggi.
Vivienda

Terdapat beragam zona
nyaman yang selalu dipagari oleh seseorang dan pintunya pun ditutuprapat-rapat
agar tidak terganggu oleh orang lain ataupun gagasan-gagasan baru yang
menggelisahkan. Misalnya seseorang yang dilingkungan sosialnya biasa
dielu-elukan, disanjung dan dihormati, bisa jadi akan canggung duduk mengikuti
sebuah training dan diperlakukan sebagaimana peserta lain yang tidak memiliki
status sosial tinggi.


Demikianlah, zona nyaman
itu bisa terbentuk oleh kebiasaan dan paham yang sudah mapan baik berupa
fanatisme aliran politik, mazhab keilmuan, kelompok pergaulan maupun paham
keagamaan sehingga seseorang merasa nyaman berada dalam bangunan rumah virtual
yang telah dihuni bertahun-tahun.

Karena orang-orang
memandang kematian sebagai sebuah malapetaka yang dapat merampas kenikmatan
hidup, menyeret kita dari comfort zone yang telah kita ciptakan, maka tak
sedikit dari mereka yang menolak kematian. Padahal kenikmatan duniawi itu
adalah bersifat sementara dan kebahagiaan spiritual adalah lebih sejati
sebagaimana dijanjikan Allah.

Andaikan hidup hanya
membanggakan kehebatan duniawi dan kekayaan materi, maka manusia bagaikan
kelelawar yang terbang di siang hari, dia buta karena tak sanggup menatap
cahaya matahari yang begitu menyilaukan matanya. Tetapi dengan matahari,
seorang yang beriman akan mampu menatap siapa pencipta matahai dan semesta ini.

Kalau saja hidup ini hanya
diukur dengan sukses materi, dengan penampilan fisik yang sehat dan menarik,
dengan banyaknya uang dan kekayaan duniawi lain, maka kita perlu merenung,
untuk apa semua itu? Untuk apa sesungguhnya manusia sibuk mengumpulkan harta
jauh melebihi kebutuhannya jika pada akhrinya malah membuat repot dan jadi
beban hidup? Kalau pun suatu saat bebatuan dan gunung berubah jadi emas,
benarkah pemiliknya menjadi lebih bahagia dan bermakna hidupnya?

Pengahayatan agama seseorang pasti berkaitan dengan pertanyaan :

189742

benarkah hidup saya bermakna?

Dalam pandangan hedonisme, hidup dikatakan bermakna selama memberikan
kenyamanan dan kenikmatan. Tetapi benarkah hanya kenikmatan yang menjadi tujuan
tertinggi yang menggerakkan hidup ini? Lebih dari itu, apakah kenikmatan itu
selalu bersifat fisik dan emosi?

1 komentar:

  1. اللهم انا نسألك حسن الخاتمة، ونعوذبك من سوء الخاتمة.....

    BalasHapus